Oleh : Taqdiraa, S.Pd.
Belakangan ini, kondisi global sangat mempengaruhi industri hulu migas (minyak dan gas). Masalah terberat adalah tingkat pengendalian pandemi Covid-19, fluktuasi harga minyak, hingga menurunnya investasi terhadap migas yang sangat memprihatinkan. Padahal, menurut versi Governement Take bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Cambodia dalam hal berinvestasi migas.
Wabah pandemi yang belum berakhir, berdampak sangat besar pada industri migas yaitu dengan anjloknya harga minyak. Tahun 2020-2025, investasi menurun drastis menjadi US$ 500 miliar. Asia Pasifik turun US$ 64 miliar, setara dengan 13% total penurunan. Dengan begitu, porsi investasi yang masuk ke Asia Tenggara dan Indonesia semakin kecil. Artinya, pembiayaan global untuk investasi hulu migas masih terbatas dan kompetitif. Perusahaan migas multinasional mengalihkan investasinya ke low carbon energy (a.l. Chevron, BP, Shell, Total, dan Mubadala). Indeks daya saing industri hulu migas relatif rendah. Berbagai negara pun memberi fasilitas fiskal untuk industri migas yang lebih menarik.
Cara mengatasinya, Indonesia perlu mengambil momentum pemulihan ekonomi dari kondisi Covid-19. Dengan mengubah pendekatan dan kebijakan terhadap berbagai pihak tertentu, Indonesia dapat kembali menjadi tujuan investasi hulu migas. Keberanian melakukan terobosan adalah kunci utama.
Masalah lain yang tengah dihadapi adalah tingginya konsumsi migas Indonesia. Pemerintah kerap mengimpor migas demi memenuhi kebutuhan Indonesia. Pada kenyataannya, Indonesia menjadi negara dengan impor minyak terbesar se Asia Tenggara. Bagaimana tidak, konsumsi migas dalam negeri terus meningkat namun tidak dibarengi dengan naiknya angka produksi.
Seperti kita ketahui bersama bahwa minyak adalah salahsatu penunjang dalam memenuhi kebutuhan premier manusia. Di Indonesia, total kebutuhan minyak per hari mencapai 1,4 juta barel. Sementara hasil produksi minyak hanya 800 ribu barel per hari. Tentu kekurangannya diperoleh dari hasil impor yaitu berjumlah 600 barel per hari.
Menyikap hal ini, pemerintah tidak tinggal diam. Melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi ditargetkan mencapai 1 juta barel per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) di tahun 2030. Ini adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan migas Indonesia.
Demi tercapainya terget tersebut, ada 5 aspek yang dapat diterapkan yaitu clear vision, smart organization, one door service policy, commercialization, dan digitalization.
Selain itu, untuk meningkatkan produksi migas nasional dan memenuhi migas domestik, Dwi Soetjipto selaku Kepala SKK Migas mengatakan bahwa ada 4 strategi utama yang harus diterapkan.
Strategi pertama adalah mempertahankan tingkat produksi existing. Strategi ini dapat menjaga keandalan fasilitas produksi, memaksimalisasi kegiatan, mereka ulang perawatan sumur, dan merevitalisasi sumur tidak berproduksi, dan inovasi teknologi.
Strategi kedua, akselerasi transformasi sumber daya yang menjadi cadangan migas. Strategi ini dilakukan dengan mengoptimalisasi lapangan dan mengevaluasi kembali POD (Plan of Development) yang pending dan juga megelompokkan sumber daya gas berdasarkan peluang dan pasar.
Strategi ketiga, mempercepat pelaksanaan EOR (Enhanced Oil Recovery). SKK Migas memiliki Komitmen Kerja Pasti (KKP) sebesar US$ 446 juta. KKP tersebut dapat mempercepat berbagai proyek EOR diantaranya field trial EOR di daerah Tanjung, Jatibarang, dan Gemah. SKK Migas juga beraliansi dengan EOR kelas dunia.
Strategi keempat atau terakhir adalah mendorong kegiatan eksplorasi yang massif. Indonesia masih memiliki potensi sumber daya 80 miliar barel minyak dan 363 triliun kaki kubik gas yang harus dibuktikan. Dengan US$ 1,2 miliar KKP untuk eksplorasi, diharapkan dapat mempercepat eksekusi komitmen tersebut baik di dalam wilayah kerja maupun wilayah terbuka. Selain itu, SKK Migas juga aktif melakukan roadshow eksplorasi dan membuka data room ke puluhan investor potensial untuk menunjukkan area-area potensi migas Indonesia.