LintasMahakam.com, Samarinda – Yati Dahlia meradang saat mengisahkan persoalan tanah warisan dari orangtuanya yang masuk dalam Kawasan inti Ibu Kota Nusantara (IKN). Warga Bumi Harapan, Keluarahan Sepaku, ini menyatakan kerisauannya terkait pembangunan IKN, yang pasti menggusur dan mengancam hilangnya tempat tinggal dan kebun mereka.
“Dampak pembangunan IKN ini sangat terasa, apalagi kami para ibu rumah tangga. Sangat khawatir, kami menggantungkan ekonomi keluarga dari kebun. Sekarang kebun sudah tidak ada, malah sekarang rumah saya akan digusur,” katanya dengan logat Balik yang kental.
Yati Dahlia merupakan warga adat Suku Balik. Konon katanya, Suku Balik merupakan suku asli yang menguasai Kota Balikpapan hingga Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Sepaku adalah wilayah adat terakhir yang dulunya merupakan hutan adat. Di wilayah itu, warga Suku Balik kemudian membentuk komunitas adat kecil. Membuat pemukiman dan berladang di gunung untuk bertahan hidup.
“Semua orang sudah tau bagaimana sejarah Suku Balik di Sepaku ini. Kami membuka ladang dan mendiami wilayah ini sejak jaman leluhur. Tempat yang saya tinggali ini, adalah tanah keluarga yang diwariskan orang tua kami,” ujarnya.
Rumah Yati Dahlia berada dekat dengan depan pintu masuk Titik 0 IKN. Wilayah itu masuk dalam kawasan inti IKN. Yati membuka warung kecil di depan rumah, untuk membiayai kebutuhan ekonomi keluarga. Sebelumnya, dia membantu suaminya berladang. Namun ladang mereka sudah tidak ada, karena masuk dalam kawasan pembangunan.
“Dulu kami berladang, karena ladang sudah tidak ada, ya jualan sembako saja kecil-kecilan. Hanya rumah ini yang tersisa, kalau rumah dan tanah ini diambil pemerintah, kami mau makan apa besok, sebutnya.
Saban hari, Yati selalu dihantui rasa cemas berlebihan. Dia tidak bisa tidur memikirkan nasib keluarga jika digusur. Pemerintah menawarkan ganti untung lahan, sayangnya, untung yang dimaksud tidak sesuai dengan keuntungan yang dia taksir. Apalagi harga tanah yang dijualbelikan di wilayah Sepaku – Semoi sudah melonjak drastis. Satu meter persegi diharga 300 ribu hingga 2,5 juta rupiah.
“Presiden bilang, tanah yang masuk Kawasan inti IKN, akan mendapat ganti untung. Tapi yang ditawarkan hanya 300 ribu rupiah permeter persegi. Untuk beli tanah yang baru, itu tidak cukup. Harga tanah di Sepaku sudah milyaran rupiah,” paparnya.
Mental dan Tenaga Terkuras Habis-habisan
Akibat kecemasan mendalam, Yati merasa fisik dan mentalnya terganggu. Sejak tahun 2019, dia tidak pernah merasa damai di wilayahnya sendiri. Saban malam dihantui ketakutan berlebih, sedang siang dia harus membantu suami bekerja mencari nafkah.
“Saya tidak punya waktu istirahat. Malam begadang memikirkan nasib, siangnya kerja banting tulang. Saya sudah berulang kali bertemu dengan pihak Badan Otorita IKN, membicarakan nasib warga lokal. Tetap buntu, karena janji dan hasil tidak sesuai kesepakatan,”paparnya.
Bersama beberapa perwakilan perempuan lainnya, Yati pernah menagih janji pemerintah tentang peluang usaha bagi ibu – ibu rumah tangga di sekitar wilayah IKN. Salah satunya adalah usaha nasi kotakan makan pagi dan siang bagi pekerja lapangan.
Seperti angin segar yang hanya lewat, janji tersebut ternyata meleset. Usaha nasi kotakan yang tadinya akan dibagi menjadi beberapa kelompok, malah dikelola oleh orang-orang yang bukan warga lokal Desa Bumi Harapan.
“Itu cuma angin lewat, sekarang yang menguasai bisnis nasi kotakan bagi pekerja adalah orang jauh. Kami pernah protes, tapi tidak ada jawaban. Wajar kan kalau kami menduga ini permainan faktor kedekatan atau orang dalam,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, sertifikat pelatihan-pelatihan ketenagakerjaan yang pernah diikuti warga lokal tetap tidak terpakai saat melamar kerja. Yati mengungkapkan, banyak warga yang tidak diterima bekerja di komplek IKN walau pernah mengikuti pelatihan kerja kontruksi bangunan yang digagas oleh Pemda PPU dan Badan OIKN.
“Suami saya pernah melamar menjadi sekurity dan ditolak. Malah orang dari pulau luar yang diterima. Melamar kerja konstruksi juga tidak diterima, rata-rata pekerjanya malah datang dari luar Kalimantan,”ungkapnya.
Selain masalah beban ekonomi, masalah kesehatan perempuan dan anak juga menghantui warga Sepaku. Yati mengatakan, pembangunan gedung perkantoran di kawasan inti IKN berdampak pada kelestarian lingkungan di Desa Bumi Harapan. Salah satu contohnya adalah meningkatnya volume debu dan banjir. “Debu dan banjir yang paling terlihat. Anak saya korban jatuh berapa kali dari motor karena lumpur bawaan dari kendaraan berat yang mengangkut bahan-bahan material. Kami juga sudah hampir sebulan batuk dan pilek karena debu,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Logistik, Kabupaten PPU, Helena mengatakan banjir di sebagian wilayah Sepaku sudah ada sejak sebelum pembangunan IKN. Hal itu dikarenakan meningkatnya debit air di laut saat musim hujan. Namun banjir yang dimaksud itu hanya air lewat. Tidak sampai 24 jam, banjir langsung surut.
“Sejak dulu Sepaku sudah berbedu, karena banyak dilalui truk-truk besar yang mengangkut sawit dan lain-lain. Kalau banjir, memang beberapa waktu lalu ada banjir. Tapi karena meningkatnya debit air laut dan curah hujan tinggi. Itu pun tidak lama,” paparnya.
Perubahan Iklim di Kawasan Teluk Balikpapan
Aktifitas pembangunan pelabuhan untuk bongkar muat di Ibu Kota Nusantara
Wilayah Teluk Balikpapan disebut-sebut sebagai pintu gerbang utama pembangunan IKN. Aktivitas mega proyek tersebut disinyalir berpotensi mengganggu ekosistem di Teluk Balikpapan, seperti mangrove dan habitat satwa lindung pesisir. Salah satunya, dugong, lumba-lumba dan bekantan.
Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, Mapaselle Selle mengatakan Teluk Balikpapan merupakan wilayah perairan yang strategis. Luas daerah aliran sungai sekitar ± 211.456 Ha, luas perairan ± 160 km2, terdapat 22 pulau kecil, dan terletak di tiga wilayah administratif.
Berdasarkan pengalaman masyarakat lokal, masyarakat pesisir Teluk Balikpapan sudah bermukim sejak ratusan tahun sebagai nelayan. Dalam catatan Mapaselle, cerita para nelayan pada tahun 70-an mereka dapat mencari ikan tidak jauh dari tempat tinggal. Namun sejak munculnya Kawasan Industri Kariangau (KIK) di Balikpapan, para nelayan harus berlayar ke Selat Makassar untuk mendapatkan ikan.
“Nelayan di Teluk Balikpapan adalah nelayan tradisional dengan wilayah tangkap di sekitar teluk. Dahulu untuk mendapatkan puluhan kilo ikan, mereka mencari ikan tidak terlalu jauh dari pemukiman. Namun kini mereka harus kesulitan mencari ikan hingga ke Selat Makassar,” katanya.
Sama seperti Yati Dahlia, perempuan-perempuan di kawasan teluk Balikpapan juga merasakan dampak perubahan iklim dan kesulitan ekonomi pasca penetapa IKN. Umaira, warga Jenebora yang merupakan istri seorang nelayan Teluk Balikpapan membenarkan hal itu. Menurutnya, sejak KIK masuk ke Teluk Balikpapan, istri-istri nelayan merasakan dampak luar biasa pada kehidupan ekonomi mereka. Dikhawatirkan, jika pembangunan IKN juga melalui Teluk Balikpapan, akan memperparah keadaan dan perubahan iklim saat ini.
“Kita terus terang takut dengan kondisi alam saat ini. Cuaca tidak menentu lagi, nelayan kesulitan melaut, apalagi teluk kondisinya sudah dangkal. Kalau melaut sampai ke Selat Makassar, kami takut juga membiarkan suami ke sana,” katanya.
Tdijelaskan Umaira, Teluk Balikpapan dihuni 3 kampung nelayan di atas air. Masing-masing Jenebora, Gersik dan Pantailango yang berdekatan dengan Jembatan Pulau Balang.
Nelayan terbanyak berada di kampung Jenebora. Kampung trsebut merupakan kampung di atas laut. Jumlah KK tidak banyak dan rata- rata adalah nelayan bersuku Bugis Bajo. Pembangunan IKN disinyalir berdampak pada iklim di Pesisir Teluk Balikpapan dan menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang drastis.
“Hasil tangkapan laut tidak seperti dulu, untuk mencari ikan, para nelayan harus menuju laut yang lebih dalam, berkorban bahan bakar yang lebih banyak,” sebutnya.
Dijelaskan dia, pendangkalan di Teluk Balikpapan sebenarnya sudah ada sejak sebelum IKN ditetapkan. Namun pembangunan IKN yang kini berjalan, dikhawatirkan akan memperparah kondisi laut Teluk Balikpapan.
“Sejak pembangunan Kawasan Industri Kariangau (KIK) ada, limbah pabrik sudah masuk ke laut dan mempengaruhi sedimentasi dan kerusakan ekosistem laut. Kami khawatir saja, pembangunan IKN yang melewati Teluk Balikpapan ini kian memperparah perubahan iklim di Teluk Balikpapan,”ujarnya.
Di Jenebora, lanjut dia, kearifan lokal Suku Bugis Bajo adalah nelayan. Jika tidak melaut, mereka memilih membuat bagang atau renggek. Sejak hasil laut menipis, banyak warga yang memilih bekerja di perusahaan kayu dengan honor rendah. Tidak terkecuali para istri nelayan, untuk menambah penghasilan suami, mereka terpaksa kerja di pabrik sebagai buruh dengan pola kerja siang dan malam selama 8 jam.
“Rata-rata perempuan di sini akhirnya jadi buruh di pabrik kayu untuk menambah penghasilan. Kalau menunggu hasil tangkapan saja, tidak cukup. Mau tidak mau mereka harus bekerja keras dengan alat-alat pemotong kayu yang berbahaya,” ujarnya.
Secara langsung, imbuhnya, keberadaan kawasan industri dan keberadaan kapal-kapal besar yang berlabuh di Teluk Balikpapan berdampak pada area tangkapan ikan. Ditambah lagi masalah pencemaran limbah industri dan alih fungsi kawasan hutan mangrove membuat kondisi Teluk Balikpapan semakin dangkal.
“Berbagai aktifitas industri dan pembangunan di teluk ini sangat berdampak. Kami agak khawatir sebenarnya dengan IKN, kami berharappemerintah bisa memastikan sejauh apa pengelolaan Teluk Balikpapan dalam perencanaan pembangunan IKN” ujarnya.
IKN adalah Konsep Ibu Kota Hijau
Titik 0
Dijelaskan Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN, Myrna Asnawati Safitri, IKN mengusung konsep forest city yang berar ibu kota hijau. Jelas bahwa IKN ini mengutamakan isu lingkungan. Dengan penanaman jutaan pohon, dan mitigasi bencana sejak dimulainya pembangunan.
Menurutnya, IKN dalam mitigasi perubahan iklim juga penting. Sebab, lanjutnya, Forest City IKN akan menjadi solusi berbasis alam untuk berbagai persoalan lingkungan.
“Forest city adalah konsep yang mengelola dan menjaga ekosistem hutan mengantisipasi tantangan lingkungan termasuk perubahan iklim, bencana lingkungan, kehilangan keanekargaman hayati, dan polusi,” katanya.
Sejak ditetapkan sebagai IKN, pemerintah maupun Badan Otorita tidak ingin merugikan kelompok masyarakat rentan, baik perempuan, lansia, anak-anak dan lainnya. Pihaknya menegaskan, pemerintah melakukan beragam cara untuk melindungi masyarakat dari segala aspek.
“ Kami tidak ingin merugikan semua kelompok masyarakat, perempuan lansia anak-anak dan lainnya. Sehingga upaya melindungi mereka dari beragam dampak baik lingkungan juga kesehatan pasti akan dilakukan,” sebutnya.
Saat ini, kata dia, upaya tersebut mungkin belum terlihat. Sebab lokasi IKN terbilang cukup jauh dari pemukiman.
“Kita akan terus memerhatikan beragam isu yang ada. Dalam proses pembangunannya, kami akan terus memerhatikan beragam isu dan menanggapi serta berupaya melindungi kelompok rentan,” pungkasnya.