LintasMahakam.com, Samarinda – Seorang siswi dari sebuah Sekolah Menengan Atas di Kota Samarinda angkat tangan pada sebuah seminar cegah kawin anak. Pertanyaan yang diajukan siswi tersebut membuat peserta seminar yang diselenggarakan PD Nasyiatul Aisyiah Kota Samarinda itu terkejut dan heran.
“Usia bukan ukuran kedewasaan seseorang. Kenapa anak mesti dilarang menikah sebelum usia 19 tahun padahal bisa jadi sudah dewasa?” tanya siswi tersebut di seminar yang bertema “Nikah Dini Bukan Solusi”.
Sontak pertanyaan tersebut menjadi perhatian para pembicara dan peserta seminar yang digelar Selasa (30/8/2022) lalu di Universitas Muhammadiyah Kaltim. Perkawinan anak masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ulfa Mawardi menyebut Kalimantan masih menjadi yang tertinggi jumlah perkawinan anak. Empat provinsi yang ada di pulau ini semuanya berada di atas rata-rata nasional.
“Proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun menurut provinsi menempatkan keempat provinsi di Kalimantan berada di zona merah,” kata Ulfa sambil menunjukkan data tahun 2019 tersebut.
Provinsi Kalimantan Selatan, sebutnya, bahkan berada di nomor satu dengan prosentase 21,2 persen. Disusul Kalimantan Tengah dengan 20,2 persen.
Kalimantan Barat berada di posisi empat dengan 17,9 persen. Kalimantan Timur agak lebih baik karena prosentasenya hanya 12,4 persen.
“Kaltim ini pun berada di atas rata-rata nasional yang hanya 10,82 persen,” sambungnya.
Dia menjelaskan arahan presiden terkait Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak salah satunya adalah pencegahan perkawinan anak. Pada tahun 2024, perkawinan anak di Indonesia ditargetkan turun hingga 8,74 persen.
“Banyak faktor yang menjadi penyebab perkawinan anak diantaranya ekonomi dan kemiskinan, budaya dan agama, ketidaksetaraan gender, regulasi, geografis, dan akses pendidikan,” kata Ulfa.
Ulfa kemudian menjelaskan upaya pencegahan perkawinan anak terjadi tertuang dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di pasal 7 tertulis usia perkawinan yang diizinkan jika laki-laki dan perempuan sudah berusia 19 tahun.
Meski ada permohonan dispensasi melalui pengadilan pada ayat lain di pasal tersebut, namun pendapat kedua mempelai tetap mutlak harus diperhatikan.
“Ini upaya kita perkawinan anak harus dihentikan,”ujarnya.
Anak Punya Anak
Direktur Pelaksana Daerah PKBI Kaltim Muran Gautama menyebut banyak dampak buruk kesehatan bagi anak yang dinikahkan dini. Dia menyebut faktor yang mempengaruhi pernikahan dini antara lain pemahaman nilai-nilai agama, lingkungan pergaulan, pubertas, dan pengetahuan seks.
“Dampak terhadap kesehatan ketika pernikahan dini adalah alat reproduksi belum siap menerima kehamilan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi,” kata Muran yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut.
Dia melanjtukan, dampak berikutnya adalah kehamilan dini dan gizi tidak terpenuhi bagi dirinya sendiri. Resiko anemia dan meningkatkan angka kejadian depresi.
“Beresiko pada kematian usia dini, meningkatkan angka kematian ibu, dan resiko terkena penyakit menular,” sebut Muran.
Dampak bagi bayi, sebutnya, juga cukup besar dai sisi kesehatan jika terjadi pernikahan dini. Menurutnya, saat anak melahirkan, dia harus memenuhi kebutuhan gizi anaknya dan dirinya sekaligus karena juga masih masa pertumbuhan.
“Bayi yang dilahirkan dari ibu yang berusia dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil dan bayi dengan BBLR memilih kemungkinan 5-30 kli lebih tinggi untuk meninggal,” paparnya.
Jika seorang anak menikah dan memiliki anak, beban kesehatannya sangat berat. Sang anak akan terkungkung dengan kesibukan di rumah, terutama mengurus anak, dan kehilangan aktivitas lain yang seharusnya dilakukan oleh anak.
“Ini seperti anak punya anak,” kata Muran.
Beban Psikologis
Lisda Sofia, seorang psikolog di Kota Samarinda menjelaskan, dampak psikologis dari perkawinan anak juga sangat besar. Sebab anak sedang belajar mengembangkan dirinya baik fisik, pikiran, mapun psikologisnya.
“Menjadi remaja bahagia dan produktif itu adalah menerima perubahan fisik, menjalin pertemanan yang sehat, dan belajar mengatur diri serta bertanggung jawab,” kata Lisda yang juga Ketua Program Studi Psikologi FISIP Universitas Mulawarman.
Sedangkan saat menikah, sambungnya, seseorang harus sudah siap dalam hal fisik, finansial, intelektual, mental, emosi, sosial, moral, interpersonal, dan keterampilan hidup. Saat menikah, anak akan mendapatkan masalah psikologis seperti stres mengurus anak dan rumah tangga, dan mencari nafkah.
“Bisa saja nanti menyesal karena kehilangan masa remaja, kehilangan teman dan sahabat, depresi, kesepian, emosi tidak, dan kelelahan,” tambahnya.
Di sisi lain, jika beban psikologis makin memuncak, KDRT dan perceraian bisa menjadi puncak dari pernikahan dini tersebut. Konflik dengan pasangan karena sama-sama merasa benar dan ego masing-masing masih tinggi.
Secara psikologis, kata Lisda, usia remaja memang belum saatnya untuk menghadapi jenjang pernikahan.
“Remaja masih harus menuntaskan proses pencarian jati diri mereka, menggali potensi diri yang dimiliki, menuntaskan pendidikan, menjajaki peluang dan kesempatan untuk untuk pengembangan diri dan kepribadian mereka sebelum mengikatkan diri pada komitmen bersama seumur hidup,” papar Lisda.
Peserta seminar ini kebanyakan siswa dan siswi SMA di Kota Samarinda. Sebanyak hampir 120 peserta yang hadir sangat antusias dengan seminar yang membahas tentang kehidupan mereka.
“Merasa grateful dapat transferan vibes positif dari peserta muda yang super antusias. Diingatkan kembali bahwa PR kita sebagai orang dewasa, sebagai orangtua mereka, adalah menjadi role model kebaikan,” pungkasnya.
Sinergitas NA dan Pemerintah
Ketua Panitia Seminar, Taqdiraa menjelaskan, seminar ini memang dirancang untuk menekan angka perkawinan anak. Angka rata-rata pernikanan anak di Kaltim yang berada di atas rata-rata nasional adalah pekerjaan rumah bersama yang butuh sibergi banyak pihak.
“Acara ini dilaksanakan sebagai bentuk sinergitas antara Nasyiatul Aisyiah Samarinda bersama pemerintah untuk menakan angka perkawinan anak khususnya di kota Samarinda. Selain itu, untuk memperingati hari remaja internasional yang jatuh pada tanggal 12 Agustus 2022,” kata Ira, sapaan Taqdiraa.
Antusiasme pesertas terutama di sesi tanya jawab, sambungnya, merupakan pertanda anak-anak usia sekolah masih butuh edukasi soal pernikahan dini. Proses pendampingan tidak cukup dilakukan oleh sekolah.
“Kita semua harus terlibat, baik organisasi seperti Nasyiatul Aisyiah, maupun lembaga lain,” tambahnya.